Sunday, October 17, 2021

Interview Kerja, Bukan Sekadar Mau Resign

Dulu saat pertama kali masuk kerja, beberapa kali saya menanyakan ke orang-orang di kantor, sudah berapa lama bekerja di perusahaan ini? Jawabannya bervariasi, mulai yang anak baru, 5 tahunan, 10 tahunan, sampai ada juga yang di atas 20 tahun. Ya, di dunia korporasi vibes-nya memang jauh berbeda dengan perusahaan rintisan. Pengalaman saya waktu bergabung dengan perusahaan rintisan, suasananya seperti bekerja dengan teman sebaya. Sedangkan di korporasi, saya merasa jadi anak dan teman kantor seperti orang tua, apalagi saya yang termuda di divisi saya hahahaha. Saat tahu mereka sudah bertahun-tahun menghabiskan waktunya di sini, terkadang membuat saya bertanya-tanya, kok bisa? kok betah? gak ada niat pindah? dan ternyata tidak terasa saya pun sudah lima tahun berkarier di sini. Namun, saya bukannya pasrah dan terjebak zona nyaman. Nyatanya, sudah puluhan interview saya lalui. Sampai di titik saya mulai menikmati prosesnya dan tidak terlalu berharap diterima, istilahnya sih iseng-iseng berhadiah. Menurut saya, rutin melakukan interview ke perusahaan lain memiliki beberapa manfaat. Berikut yang saya rasakan:

1. Benchmarking atau membandingkan. Ketika saya ingin mengetahui lebih banyak gambaran kondisi industri tempat saya bekerja, cara paling efektif tentu saja bertanya ke perusahaan lain. Namun, bertanya ke perusahaan lain tentu tidak mudah. Tidak semua orang mau terbuka dengan hal itu. Ketika menjalani interview, saya bisa mengetahui, bagaimana benefit yang ditawarkan perusahaan lain, bagaimana perbedaan struktur organisasi, sistem dan tools apa saja yang digunakan dalam menunjang pekerjaan, tantangan yang dihadapi, sampai budaya perusahaan.

2. Melatih kemampuan komunikasi. Terkadang rutinitas bekerja di kantor membuat kita terlalu lelah untuk coba memulai komunikasi dengan orang lain. Kita kadang terjebak dengan orang yang itu-itu saja, kalau tidak teman kantor ya hanya keluarga di rumah. Saat interview, kita bisa mendengar bagaimana orang lain berpendapat dan bagaimana cara orang tersebut berkomunikasi. Selain mengambil ilmu dari orang lain, kita pun jadi bisa mengeksplorasi diri. Kita mulai memikirkan, apa saja pekerjaan yang saya lalui selama ini. Hal apa yang menyenangkan, apa saja yang menjadi tantangan. Setelah itu saya mulai berlatih, bagaimana menyampaikan pengalaman tersebut secara efektif.

3. Bertemu orang-orang penting. Jika bukan karena interview, rasa-rasanya tidak mungkin saya bisa duduk berdua dengan leader-leader perusahaan global. Mulai dari level manajer, sampai direktur bisa saja kita temui. Kalau sudah seperti itu, kadang motivasi saya mulai bergeser. Awalnya mungkin fokus saya hanya ingin lulus interview dan diterima di perusahaan tersebut. Namun, kadang saya justru lebih semangat untuk menggali informasi dan pengetahuan yang dimiliki para leader. Banyak hal-hal yang baru saya ketahui saat interview dengan para leader, termasuk sudut pandang mereka terhadap bidang yang saya geluti.

4. Ajang refreshing. Memang, awalnya interview membuat saya stres dan bahkan menimbulkan ketidakpercayaan diri. Namun, lama-lama saya sadar kalau kegiatan interview ternyata tidak seseram itu, bahkan bisa jadi sesuatu yang menyenangkan. Rasa-rasanya banyak juga pengalaman menyenangkan ketika berkomunikasi dengan HR maupun User. Kadang secara tidak sadar kita bisa saling tertawa saat membahas kondisi masing-masing.

Itulah beberapa manfaat yang bisa saya dapatkan dalam kegiatan interview. Pada dasarnya, interview kegiatan yang kita tunggu-tunggu kan? ingat saat pertama kali lulus kuliah Anda mendaftar kerja ke sana-sini dan selalu berharap mendapat kesempatan wawancara? Ingat kah saat Anda sedang pusing dengan pekerjaan di kantor, tiba-tiba seseorang yang tidak Anda kenal dari Linkedin memberi peluang untuk bergabung dengan perusahaannya dan menikmati pengalaman bekerja yang baru? Memang, hasilnya kadang tidak seperti yang kita harapkan. Namun, jangan pernah putus asa dan terus semangat!

Sunday, June 6, 2021

Mencari Hobi Baru

Jujur, akhir-akhir ini suka merasa bingung jika ditanya orang lain punya hobi apa. Kalau dulu saat masih sekolah, saya bisa jawab membaca. Kebetulan memang dulu sehobi itu baca buku. Saya bisa pergi sendirian ke Gramedia Blok M cuma sekadar untuk mencari buku. Seringnya tidak punya tujuan beli buku apa. Cuma modal lihat-lihat buku apa yang populer dan akhirnya beli. Kalau sekarang, saya merasa agak tidak pantas jika menjawab hobi membaca, karena buku yang saya baca dalam enam bulan terakhir hanya satu saja. Judulnya Malice, novel mengenai pembunuhan seorang novelis. Buku itu pun saya beli secara random karena mendenger podcast review buku di Spotify.
Saking bingungnya jika ditanya hobi, akhir-akhir ini biasanya saya jawab saja hobi saya jalan kaki hahaha. Tapi ini serius. Kegiatan yang konsisten saya lakukan setiap akhir pekan dalam beberapa bulan terakhir ya jalan kaki. Biasanya saya keluar rumah jam enam pagi. Mulai dari mengitari kawasan Bendungan Hilir, Senayan, sampai Sudirman. Tujuannya murni jalan kaki, bukan berlari. Sebelum pandemi saya pun beberapa kali pulang jalan kaki dari kantor di kawasan Monas ke rumah di daerah Pejompongan. Memang capek, tapi saya suka.
Nah, berhubung hobi jalan kaki terlalu abstrak jika diceritakan ke orang-orang, maka saya berpikir keras hobi apa yang bisa saya jalankan, khususnya di masa pandemi ini. Tentu saja saya punya kriteria, antara lain, biayanya murah, tidak menguras fisik, tidak memakan waktu terlalu banyak karena saya harus tetap bekerja, dan tentunya menyenangkan.
Setelah berkontemplasi, akhirnya saya putuskan untuk merawat sukulen atau kaktus mini. Biayanya murah, untuk 21 pot dengan diameter 10 cm biayanya tidak sampai dua ratus ribu rupiah. Sama sekali tidak menguras fisik, karena bisa disiram seminggu sekali dan bisa dilakukan di balkon rumah. Disiram pun hanya seminggu sekali dengan proses penyiraman hanya beberapa menit. Menurut saya hal ini menyenangkan, buktinya saya antusias malam-malam menyendok media tanam ke pot dan menanam sukulen yang saya beli secara online dari Lembang, Bandung. Bukan hanya saya, adik-adik pun juga tergoda menyiram tanaman. Saking sayangnya sama si sukulen, saya pun memanggilnya dengan 'my baby' hahaha. Jadi kalau sore-sore mau hujan, saya akan bergumam "Wah, my baby harus dimasukkin ke dalem nih biar ga kehujanan". Semoga cerita ini bisa menginspirasi teman-teman untuk mencari hobi baru, terutama di masa pandemi yang sangat rentan terhadap stres ini.
Berikut potret beberapa koleksi sukulen saya.







Monday, May 17, 2021

Pentingnya Pengkinian Cita-Cita

Sebagai orang yang realistis, salah satu hambatan terbesar saya dalam merangkai cita-cita ialah selalu bermain di zona aman. Saya cenderung menuliskan hal-hal yang paling mungkin dicapai dan seringkali tidak berani menuliskan hal yang out of the box. Bukan, bukan berarti cita-cita saya rendah. Namun, saya memilih yang paling mudah digapai. Misalnya, dalam lima tahun kedepan saya bercita-cita memiliki rumah. Namun, saya tidak berani menuliskan standar rumah yang tinggi seperti rumah yang dikembangkan oleh Agung Podomoro atau Agung Sedayu. Bagi saya, rumah kecil di pinggiran kota sudah cukup. Begitu pula dengan cita-cita kuliah S2. Saya tidak berani menuliskan syarat kampus ivy league dengan jalur full scholarship. Alhasil, saya sudah cukup puas dengan kuliah master di dalam negeri.

Lalu, apakah hal ini sesuatu yang buruk? Sebenarnya tidak juga. Saya sangat bersyukur dapat mewujudkan satu demi satu mimpi meski secara perlahan. Namun, keinginan untuk terus menantang diri sendiri agar jadi pribadi yang lebih baik muncul begitu saja. Salah satu penyebabnya, saya teringat pada selembar kertas yang saya tulisi dengan harapan dan cita-cita dalam beberapa periode kedepan, seperti tiga tahun lagi, lima tahun lagi, sepuluh tahun, dan seterusnya. Kertas tersebut saya tulis bukan sepenuhnya atas kesadaran diri sendiri, namun diminta oleh salah seorang trainer yang memberi materi di kantor saat saya baru mulai bekerja.

Saya ingat sekali dengan beberapa hal yang saya tulis, diantaranya, mendapat promosi jabatan dari kantor, memiliki rumah sendiri (meski kredit), dan melanjutkan studi ke jenjang S2. Ajaibnya, sebelum lima tahun bekerja mimpi-mimpi tersebut telah tercapai. Meski ya itu tadi, dengan standar yang minim. Makannya saya jadi overthinking, kenapa sih dulu tidak saya tulis saja cita-cita masuk Forbes Under 30, beli rumah di Menteng, atau kuliah S2 di Harvard sekalian. Ya, namanya juga manusia, sudah jadi sifatnya untuk tidak pernah puas. Tapi tenang saja, meski begitu saya selalu bersyukur atas pencapaian saat ini.

By the way, saking tidak percaya diri dan malunya saya saat menuliskan cita-cita tersebut, sampai-sampai kertas itu akhirnya saya buang. Setelah itu, saya baru kepikiran dan menyesal kenapa dibuang, padahal bisa jadi kertas bersejarah kelak ketika semuanya sudah terwujud. Kertas itu pula yang akhirnya menginspirasi saya untuk menulis lagi di blog yang sudah tidak terurus ini.

Berhubung sebagian cita-cita sudah tercapai, dan sebagiannya lagi ada juga yang belum tercapai, saya rasa penting juga untuk kita selalu melakukan update atas cita-cita yang kita miliki. Ibarat know your customer-nya perbankan, kita juga semakin bisa mengukur kemampuan dan profil diri kita. Jika nomor telepon dan alamat nasabah yang berubah harus selalu dikinikan, begitu pula cita-cita dan harapan.

Adanya cita-cita dan harapan dapat memacu semangat kita, apalagi jika satu per satu mulai tercapai, rasanya seperti berhasil checkout barang-barang yang sudah masuk wishlist Tokopedia sejak setahun lalu. Ada bahagia yang tidak bisa dituliskan dengan kata-kata. Meski begitu, kadang tidak semua hal bisa berjalan sesuai rencana. Inilah kenapa cita-cita tersebut juga harus fleksibel sesuai kondisi kita. Baiklah, kalau begitu mari kita tulis kembali cita-cita dan berdoa agar dapat dimudahkan dalam mewujudkannya, aamiin.